Lahirnya istilah Salafiyah sebenarnya merupakan sebuah tuntutan keadaan dari munculnya berbagai firqah atau kelompok baru dalam tubuh umat Islam. Jadi pada dasarnya sebutan salafiyah, ahlussunnah wal jamaah dan yang semisal itu tidak akan ada kalau saja dalam tubuh umat Islam tidak muncul berbagai aliran dan kelompok yang menyimpang dari jalan Nabi dan para shahabat.
Disebabkan
umat Islam terpecah, maka istilah Salafiyah/ahlusssunnah tersebut
keberadaannya justru menjadi sebuah keharusan, sebab tanpa
dimunculkannya nama ini, kaum muslimin tidak dapat membedakan mana
kelompok yang paling sesuai dengan jalan para pendahulunya: Nabi,
shahabat dan tabi’in. Banyak dalil shahih yang menunjukkan bahwa ummat
Islam ini akan terpecah belah dan mengalami banyak perselisihan seperti
disebutkan dalam hadits iftiraq atau hadits Al-Irbadh bin Sariyah.
Dan
fakta juga membuktikan bahwa apa yang disabdakan oleh Rasulullah
tersebut benar-benar terjadi. Belum selesai masa Khulafa’ ur Rasyidin
umat Islam sudah mulai berpecah belah dan bahkan hingga saling bunuh,
yakni dengan munculnya firqah khawarij. Dan seterusnya muncul berbagai
kelompok aliran seperti syi’ah, murji’ah, qadariyah, jabbariyah,
shufiyah dan lain-lain. Maka dalam kondisi demikian ahlussunnah atau
salafiyah menjadi sesuatu yang mau tidak mau pasti ada atau tidak bisa
tidak.
Mungkin
akan timbul pertanyaan, “Bukankah dengan memunculkan nama salafiyah,
ahlussunnah justru akan menambah perpecahan dan memperparah keadaan?”
Mengapa kita tidak mengembalikannya sebagaimana pada masa Nabi dan
shahabat yaitu Islam atau Muslimin?
Untuk menjawab pertanyaan ini maka kita harus mendudukkan beberapa masalah, yaitu:
Pertama;
Sebutan Islam atau muslim secara mutlak itu berlaku ketika kaum
muslimin dalam keadaan bersatu, sebagaimana yang terjadi pada masa Nabi
dan generasi terbaik setelah beliau.
Ke Dua;
Ajaran salafiyah atau ahlussunnah itu adalah ajaran kaum muslimin atau
Islam sebelum mereka berpecah. Dan dalam keadaan umat terpecah, terbukti
ahlussunnah tetap komitmen dengan para pendahulunya. Jadi esensi ajaran
mereka sama sekali tidak berubah atau menyelisihi apa yang dipegang
oleh Rasulullah dan para shahabat.
Ke Tiga;
Apabila ahlussunnah hanya menggunakan nama Islam secara mutlak, maka
tidak ada yang dapat dibedakan antara mereka dengan kelompok-kelompok
lainnya yang menyimpang dari al-haq, sebab mereka yang menyimpang dari
manhaj nabawi pun mengatasnamakan Islam.
Ke Empat;
Penyebutan salafiyah atau ahlusssunnah ini justru untuk mempertahankan
identitas dan memberikan tekanan bahwa mereka adalah kaum muslimin yang
benar-benar konsisten dengan jalan Islam yang ditempuh Nabi dan para
shahabat.
Ke Lima;
Salafiyah atau ahlussunnah tidak berintima’ atau dinisbatkan kepada
seseorang, tetapi berintima’ kepada Nabi dan para shahabat. Salafiyah
atau ahlussunnah bukan kelompoknya Imam Ahmad, Syaikhul Islam Ibnu
Taymiyah, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, Imam Ibnul Qayyim, bukan pula
kelompoknya Syaikh Bin Baz, Syaikh Nashiruddin al-Albani, Syaikh
Utsaimin.
Karena
itu tidak pernah ada yang namanya amir salafiyah, musyrif ‘aam atau
sekjen salafiyah. Ini menunjukkan bahwa salafiyah bukanlah firqah yang
ta’ashub kepada seseorang, sebagaimana terjadi pada aliran-aliran sesat
atau thariqah shufiyah dan selainnya. Mereka menjadikan syaikh mereka
sebagai figur sentral dan berta’ashub buta kepada masyayikhnya.
Sementara ahlussunnah mengikuti masyayikh dan para ulama semata-mata
karena kesesuaian dan komitmen mereka kepada sunnah Nabi.
Ke Enam;
Penggunaan istilah ahlussunnah wal jama’ah, al jama’ah, salafiyah,
ahlul hadits dan semisalnya adalah sah-sah saja. Sebab itu tidak
menghilangkan eksistensi dan identitas keislaman, bahkan memperjelas
identitas pada masa perpecahan. Dalil yang paling jelas adalah hadits
Nabi, yang merangkan tentang iftiraq (perpecahan ummat).
Nabi
bersabda, “Umat yahudi telah terpecah belah menjadi tujuh puluh satu
golongan, umat nashrani telah terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan,
dan ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Seluruh
golongan itu masuk neraka kecuali hanya satu kelompok saja. Para
shahabat bertanya, “Siapakah mereka itu wahai Rasulullah? Beliau
menjawab, “Mereka adalah al-Jama’ah” (HR. Abu Dawud, ad-Darimi, Ahmad,
al-Hakim, berkata al-Hakim “Sanad-sanadnya dapat menjadi pegangan untuk
menshahihkan hadits ini,” disetu-jui oleh adz-Dzahabi. Al Hafidz
berkata, “Sanadnya hasan, Syaikul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Ini
adalah hadist shahih masyhur”. Dishahihkan oleh asy-Syathibi dalam
al-I’tisham, dan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah, no 204).
Perhatikan
jawaban Nabi ketika para shahabat bertanya, “Siapakah mereka itu wahai
Rasulullah? Yaitu siapakah satu golongan yang akan selamat itu. Maka
beliau menjawab, “Mereka adalah al-Jama’ah”. Rasulullah tidak mengatakan
bahwa mereka adalah al Islam atau Muslimin.
Apakah
kita berpikiran bahwa Nabi akan mengganti agama Islam pada saat terjadi
perpecahan dengan nama baru yaitu al-Jama’ah? Tidak sama sekali, sebab
al Jama’ah yang dimaksudkan Nabi ini tidak lain juga Islam yang beliau
praktekkan bersama para shahabat. Dalil yang menunjukkan hal itu adalah
sabda beliau dalam riwayat lain ketika para shahabat bertanya dengan
pertanyaan serupa, beliau menjawab, “Man kaana ‘ala mitsli maa ana
‘alaihil yauma wa ash-habii.” Yaitu siapa saja yang seperti aku dan para
shahabatku saat ini.”
Kalau
kita menggunakan nama Islam dalam menyifati satu golongan yang selamat
ini, maka jelas tidak akan nyambung. Bagaimanakah kita akan memahami
kalimat berikut ini, “Ummat Islam akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga
golongan semuanya di neraka, kecuali hanya satu golongan saja yang
selamat, yaitu Islam.” Dalam kalimat ini tidak ada yang spesifik,
sehingga membutuhkan penekanan bahwa di antara mereka yang menisbatkan
diri dalam Islam yang selamat adalah yang Islamnya sesuai dengan
Islamnya Nabi dan para shahabat atau jama’ah (kelompok) mereka, yakni
Islam ahlussunnah wal jama’ah, salafiyah, ahlul hadist, ahlul atsar dan
semisalnya.
Kasus
ini mirip dengan yang terjadi pada masa Imam Ahmad bin Hanbal, yakni
ketika ada seseorang bertanya kepada beliau, “Apakah tidak cukup kita
mengatakan bahwa al-Qur’an kalamullah, tanpa tambahan bukan makhluk?
Maka beliau menjawab, “Kalimat itu (Al-Qur’an kalamullah) tidak ada
masalah jika diucapkan pada masa shahabat, tetapi untuk saat ini maka
harus ditambah dengan kalimat “bukan makhluk” karena kondisinya
berbeda.” Ucapan beliau ini sangat beralasan, karena pada saat itu
menyebar di kalangan kaum muslimin paham mu’tazilah yang berpendapat
bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Bahkan paham ini menjadi madzhab resmi
pemerintahan kala itu.
Karena
perlunya spesifikasi inilah, seorang pemimpin partai politik di
Indonesia menambahkan kata “perjuangan” *) pada nama partai yang dia
pimpin. Sebabnya adalah karena ada pihak lain yang mengklaim punya
partai dengan identitas yang sama. Nah untuk membedakan antara partainya
dengan partai lain yang serupa, serta untuk memperjelas identitas bahwa
visinya adalah visi yang semula ketika partai belum pecah, maka dia
menambahkan kata perjuangan tersebut. Padahal partai tersebut hanya
terpecah menjadi dua kubu saja, lalu bagaimana dengan ummat Islam yang
oleh Rasulullah sudah dipastikan akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga
golongan?
Maka
sangat beralasan dan bahkan merupakan keharusan jika kita menambahkan
kalimat ahlussunnah (sunni), salafi pada identitas keislaman kita, pada
saat kondisi kaum muslimin sedang terpecah belah. Jadi kesimpulan-nya
tidak ada yang perlu dikhawatirkan atau ditakutkan dengan sebutan
salafiyah, ahlussunnah atau al jama’ah. (Kholif Muttaqin)
*) Ini hanya sebagai misal dalam hal perpecahan.
sumber http://zensudarno.wordpress.com/category/ilmu-pengetahuan-umum/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar